Mengapa kumcer ini wajib dibaca oleh penulis fiksi ?
Rekreasi (re-creare)
penting bagi anda, penulis cerpen.
Apakah anda pernah pernah tiba-tiba kehilangan gagasan.
Writers block ?
Nah, itulah waktu yang tepat untuk be-rekreasi.
Didunia nyata, orang-orang gemar berekreasi ke situs-situs
warisan masa lampau. Menilasi mahakarya generasi sebelum mereka, dan
mencoba membawa inovasi itu kemasa yang lebih kini.
Seorang penulis cerpen bisa menirunya dengan membaca kembali
karya para penulis terdahulu.
Tentu ada alasan, mengapa cerpen-cerpen mereka bisa tetap hidup disaat penulisnya
–sudah-
tidak.
Dibalik sebuah cerpen,
pasti ada rahasia teknik menulis cerpen yang melatar belakangi proses
penciptaannya.
Salah satu manfaat rekreasi adalah kesempatan mempelajari
teknik tersebut.
Membaca Cerpen 2 Kali
Saya sendiri membaca cerpen
yang sama –selalu- dua kali.
Membaca pertama sebagai pembaca.
Cerpen bisa memberi hiburan, melemaskan syaraf, mengasah kepekaan, menajamkan
otak. Cukup sering saya membaca cerpen dengan tujuan hendak memicu syaraf
geli (humor) dan rasa haru belaka –terharu itu sama pentingnya dengan tertawa-.
Membaca kedua saya lakukan dalam
posisi sebagai penulis.
Bila saya tertarik membacanya,
hampir pasti saya pun tertarik untuk bisa menulis cerpen seperti itu. Saya
menelusuri kembali kata demi kata, kalimat, paragraf, dalam cerpen
bersangkutan, mencoba menemukan keberadaan pola-pola tertentu yang menyusun
struktur ceritanya.
Pada kesempatan re-kreasi beberapa
hari lalu, saya mencoba menginventarisir ‘rahasia’ menulis cerpen para legenda
(beberapa diantaranya adalah Nobelis).
-Just
Lather, That’s All karya penulis Kolumbia,
Hernando Tellez (1908-1966);
-The
Necklace karya Guy de Maupasant
(1850-1893);
-Cat In
The Rain Ernest Hemingway (1898 –
1961);
-The Bet karya Anton Chekov (1860 -1904);
-My Lord,
The baby karya Rabindranath Tagore (1861
-1941);
-God Sees
The Truth, But Waits karya leo Tolstoy (1828 -1910);
dan..
-War karya Luigi Pirandello (1867 -1936).
Sedikitnya ada 4 ‘jurus’ yang mirip
diantara mereka, dipergunakan dalam proses penulisan cerpen.
1. Pesan dalam Cerpen
Ide cerita kalau tidak berbasis
karakter, akan berbasis plot.
Penulis termotivasi menulis cerpen
karena menemukan sosok karakter yang menarik untuk diceritakan, lalu merangkai
sebuah plot bagi karakter tersebut.
Atau sebuah alur cerita tiba-tiba
muncul dalam kepala, kemudian penulis menciptakan sederet karakter untuk
memerankan jalannya cerita.
Pembaca tidak bisa menebak, lagipula
tidak penting bagi mereka, darimana penulis memulai menyusun sebuah cerita.
Lalu apa yang menyebabkan
karya-karya cerpenis legendaris diatas tetap populer hingga kini ?
Jawabnya adalah cerpen mereka mampu
menyampaikan pesan –moral cerita- yang kuat kepada pembaca.
Saya curiga, penulis kawakan selalu
memulai menulis cerita dengan pertanyaan; Pesan apa yang hendak saya sampaikan
melalui cerpen ini ?
Cat In The Rain berisi pesan tentang
cinta setelah perkawinan hanya bisa diwujudkan melalui tindakan;
The Necklace memberi pesan gengsi
ternyata jauh lebih mahal ketimbang perhiasan;
Just Lather, That’s All menitip
pesan bahwa integritas setiap manusia hanya bisa dinilai atas komitmennya
menjalankan tugas dan profesi masing-masing.
Hanya saja, memasukkan pesan kedalam
cerita adalah hal lain. Butuh keterampilan
–berbeda tiap penulis- untuk itu.
Contoh buruk penyampaian moral
cerita bisa anda lihat pada tayangan sinetron religi. Karakter bersorban,
bergamis, tiba-tiba muncul menyitir isi kitab suci dihadapan karakter antagonis
yang lansung bertobat setelah mendengar nasehat itu.
Moral cerita bukan dialog (ucapan
karakter) yang berisi ayat-ayat suci, nasehat-nasehat kebajikan (hindari
kejaharan dan perbanyak kebaikan).
Pesan cerita tidak harfiah, atau
muncul tersurat berbentuk teks dalam cerita.
Moral
cerita adalah kesimpulan yang ditarik dalam persepsi pembaca begitu selesai
membaca.
Moral cerita adalah ruh, spirit,
sosok imajiner yang tersebar secara merata, utuh, pada semua elemen cerita;
Karakter, setting, konflik & resolusi.
Bahasa adalah sosok fisik cerita,
moral/pesan adalah sosok psikisnya. Moral ada tapi tidak teraba.
2. Cerpen itu Terus Terang
Cerpen dikategorikan sebagai prosa. Tepatnya prosa naratif
fiktif.
Prosa berasal dari bahasa latin ‘prosa’ yang artinya ‘terus terang’, dimana bahasa yang dipakai
lebih sesuai dengan arti leksikalnya.
Cat In The Rain karya
Heminway
contohnya, Mustahil menemukan kalimat puitis atau multitafsir
didalamnya.
Kalimatnya mengalir lugas, sederhana, dan tidak bertendensi
menyembunyikan makna lain diluar arti leksikalnya.Sebagai pembaca, kita ingin membaca
cerita, yang meski fiktif, tidak beda jauh dengan kenyataan yang kita temui.
Pembaca ingin fokus pada alur cerita, tidak mau direpotkan
lagi dengan keharusan menafsirkan makna tersembunyi dibalik teks.
Penyair yang beralih menjadi cerpenis, sering didapati
melakukan ‘manipulasi’ semacam ini.
Jadi, pakailah bahasa terus terang yang umum dipahami
khalayak.
3. Dialog
lebih banyak
Porsi dialog berbanding narasi dalam cerpen-cerpen rujukan diatas berkisar 80 % : 20 %.
Pembaca menyukai karakter berdialog dengan sesamanya.
Pembaca merasa dilibatkan dalam cerita.
Cerita lebih hidup dengan dialog, hingga membaca menjadi
pengalaman yang mirip dengan menonton drama atau sinema.
Narasi umumnya diselipkan sekedar pengantar transisi antar
adegan.
Pembaca bisa menjadi pasif oleh sebab kebanyakan narasi,
dimana kisah melulu diceritakan oleh narator (penulis).
Penulis yang baik ibarat sutradara dibelakang layar, tidak
boleh berjejak didalam cerita. Biarkan karakter berinteraksi dengan pembaca
lewat dialog-dialognya.
4. Twist
Ending
Ini resep menulis yang tak pernah basi. Sebuah kejutan,
akhir yang tak terduga.
Coba anda ingat-ingat kembali cerpen yang pernah dibaca. Dua
cerpen teratas yang terbersit hampir pasti diakhiri kejutan.
The
Necklace karya Guy de Maupasant, contoh yang bagus bagaimana kejutan
yang sempurna mengakhiri sebuah cerpen.
Sempurna karena pembaca tidak bisa menduga namun menerima
kejutan itu masuk diakal, tidak klise, apalagi diada-adakan.
Tanpa kejutan diakhir cerita, ibarat sayur tak bergaram.
Hindari akhir yang datar, apalagi mengambang. Pembaca
menyukai kejutan; ‘ oh, ternyata..‘